top of page

Apakah Anak Luar Nikah Berhak Dapat Warisan? Ini Jawabannya

Hak Waris Anak Luar Nikah


hukum waris anak luar nikah

Apakah anak di luar nikah berhak atas warisan orang tuanya? Mungkin pertanyaan ini terlintas dibenak beberapa orang yang sedang mencari jawabannya. Penting untuk mengetahui hak waris anak luar nikah baik dari sisi hukum negara dan juga agama.


Hak waris dalam sistem hukum Indonesia bukan hanya sekadar persoalan garis keturunan biologis, tetapi erat kaitannya dengan legalitas hubungan antara orang tua dalam ikatan pernikahan yang sah. Pembagian waris di Indonesia dikenal melalui dua jenis hukum, yakni menurut Hukum Perdata dan Hukum Islam.


Keduanya memberi penekanan bahwa warisan hanya bisa diterima oleh keturunan yang lahir dari pernikahan yang sah. Namun, kadang kondisi sosial tidak selalu sejalan dengan hukum yang tertulis. Dalam kenyataan, tidak sedikit anak yang lahir di luar pernikahan antara itu karena hubungan di luar nikah, pernikahan yang tidak dicatatkan secara sah, atau karena salah satu pihak tidak mengakui keberadaan anak tersebut.


Artikel ini akan membahas secara mendalam posisi hukum anak di luar nikah dalam sistem waris Indonesia, menelaah dasar hukumnya melalui Hukum Perdata, Undang-Undang Perkawinan yang telah melalui yurisprudensi Mahkamah Konstitusi (khususnya Putusan No. 46/PUU-VIII/2010), serta menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI). Tujuannya bukan hanya memberikan pemahaman hukum yang tepat, tetapi juga mendorong terciptanya perlindungan hak bagi setiap anak tanpa diskriminasi terhadap status kelahiran mereka.


Status Warisan Menurut Hukum Perdata


Dalam pengaturan hukum perdata, sesuai dengan pasal 867 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seorang anak yang lahir di luar perkawinan dan hubungan diluar perkawinan itu merupakan perzinahan ataupun penodaan darah tidak berhak untuk mendapatkan warisan baik itu dari pihak ayah maupun ibunya. Tetapi berdasarkan perundang-undangan ia berhak untuk diberikan nafkah seperlunya saja dari orangtua nya.



Lebih lanjut lagi dijelaskan dalam pasal 869, apabila dalam semasa hidup ibu atau ayahnya telah memberikan jaminan nafkah terhadap sang anak maka ia tidak berhak lagi untuk menuntut warisan nantinya. Hukum perdata sendiri sangat tegas mengatur bahwa hanya anak yang lahir dari perkawinan yang sah yang boleh memperoleh warisan.


Status Warisan Menurut Undang-Undang Perkawinan


Undang-Undang Perkawinan sendiri pada awalnya menganggap bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya sesuai dengan pasal 43 ayat (1) peraturan ini. Meskipun tidak dijelaskan secara rinci jenis ‘hubungan perdata’ apa saja yang dimaksud, menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata warisan adalah salah satu diantaranya. Namun, putusan Mahkamah Konstitusi 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan mengubah ketentuan tersebut dan mengakui hubungan perdata antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya.


Dengan catatan sebelum anak tersebut diakui, sang ayah harus membuktikan secara biologis melalui ilmu pengetahuan dan teknologi serta alat bukti lain menurut hukum, hubungan darah antara mereka berdua. Berdasarkan putusan tersebut, berarti anak yang dilahirkan di luar perkawinan dapat memiliki hubungan perdata dengan ayahnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. 


Setelah terbukti, anak tersebut dapat menjadi waris dari si ayah biologis. Dengan memperhatikan ketentuan pada pasal 285 KUH Perdata bahwa apabila terjadi pengakuan dari ayah biologisnya, sehingga timbul hubungan hukum antara si ayah dengan anak luar kawinnya tersebut, pengakuan anak luar kawin tersebut tidak boleh merugikan pihak istri dan anak-anak kandung dalam hal pewarisan.


Status Warisan Menurut Kompilasi Hukum Islam


Menurut penjelasan pasal 149 sampai dengan 185 Kompilasi Hukum Islam, ada dua kondisi yang menyatakan seorang anak lahir di luar perkawinan. Yang pertama adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah dan berikutnya anak yang lahi akibat hubungan yang tidak sah. Pada pasal 100 Kompilasi Hukum Islam menyatakan anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarganya ibunya.



Secara istilah fikih, nasab diartikan sebagai keturunan ahli waris atau yang berhak menerima harta warisan karena pertalian darah. Kemudian, hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kewarisan. Hal serupa juga ditegaskan kembali dalam Pasal 186 KHI yaitu: Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.


Mengenai status waris anak di luar perkawinan ini juga turut dibahas lagi melalui Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang dibuat pada 10 Maret 2012. Dalam fatwa tersebut, MUI memang menyatakan bahwa anak hasil zina tak berhak menjadi ahli waris ayah biologisnya, tetapi ayah biologis itu tetap harus ‘bertanggung jawab’ terhadap anaknya, dengan adanya hukuman kepada ayah biologisnya untuk memenuhi kebutuhan hidup anaknya itu.


Si ayah juga bisa dihukum dengan memberikan sejumlah harta (melalui wasiat wajibah) ketika ia meninggal dunia.


Dari ketiga perspektif hukum yang diambil oleh penulis, kebanyakan mengatur bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak berhak untuk mendapatkan waris dari pihak ayah, hanya melalui pihak ibu saja. Namun, hukum tersebut mencoba untuk tidak mendiskriminasikan si anak dengan turut mewajibkan sang ayah kandung/ayah biologis untuk tetap bertanggungjawab atas kesejahteraan si anak. 


Konsultasi Bersama Mitra Hukumku


Hukumku merupakan platform digital konsultasi hukum online terpercaya yang menyediakan ratusan mitra advokat terverifikasi. Di sini, pengguna bisa mencari solusi terkait masalah hukum yang sedang dialami, baik hukum keluarga, hukum properti, bisnis, serta pidana dan perdata lain. Konsultasi sekarang!



bottom of page