top of page
Gambar penulisHukumkuAdminMA

Kebijakan Pembagian Alat Kontrasepsi untuk Pelajar. Solusi Atau Masalah Baru?


Kebijakan pembagian alat kontrasepsi kepada pelajar memicu perdebatan di masyarakat. Simak kronologi aturan, pendapat pro dan kontra, serta dampak yang mungkin terjadi dalam artikel ini.

Polemik mengenai pembagian alat kontrasepsi untuk pelajar telah mencuat di kalangan masyarakat dan menjadi topik hangat yang diperdebatkan. Pasal 103 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang mengatur pemberian kontrasepsi kepada remaja, telah menimbulkan kontroversi.


Kebijakan ini memunculkan pertanyaan: apakah langkah ini merupakan solusi untuk masalah kesehatan reproduksi di kalangan remaja, atau justru membuka pintu bagi masalah baru yang lebih kompleks? 


Artikel ini akan membahas latar belakang kebijakan tersebut, serta berbagai pendapat yang mendukung dan menentangnya.


Bagaimana Kronologi Aturan Pemberian Alat Kontrasepsi Bagi Pelajar?

Gagasan pemberian alat kontrasepsi kepada pelajar muncul sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menekan angka kehamilan di kalangan remaja. Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), kehamilan di usia remaja telah menjadi masalah yang serius di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, angka ini terus meningkat, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan dampak negatifnya terhadap masa depan generasi muda.


Untuk menekan angka kehamilan di usia dini tersebut, Presiden Joko Widodo mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terkait Pelaksanaan Undang Undang Kesehatan 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam PP tersebut, terdapat aturan mengenai penyediaan alat kontrasepsi bagi anak sekolah dan remaja.


Perlu diketahui pembagian alat kontrasepsi tersebut tidak ditujukan untuk seluruh remaja. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan, "Kondom tetap untuk yang sudah menikah. Usia sekolah dan remaja tidak perlu kontrasepsi. Mereka seharusnya abstinensi atau tidak melakukan kegiatan seksual," ujarnya dikutip dari DetikHealth. 


Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pembagian alat kontrasepsi akan ditujukan pada remaja yang sudah menikah untuk menekan angka kehamilan usia dini. 


Pemerintah kemudian mengeluarkan sebuah kebijakan berupa pilot project di beberapa daerah tertentu sebagai tahap awal. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi risiko kehamilan remaja melalui edukasi yang lebih baik mengenai kesehatan reproduksi serta akses yang lebih mudah terhadap alat kontrasepsi. Namun, implementasi dari kebijakan ini masih menjadi bahan perdebatan.


Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan dan BKKBN, berpendapat bahwa kebijakan ini merupakan langkah penting dalam upaya menekan angka kehamilan di usia remaja. 


Pemerintah melihat kebijakan ini sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk meningkatkan kualitas hidup remaja. Dengan memberikan akses ke alat kontrasepsi, pemerintah berharap dapat mengurangi angka aborsi ilegal, meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan reproduksi, dan pada akhirnya, menurunkan angka kehamilan remaja yang tidak diinginkan. 


Selain itu, kebijakan ini juga diharapkan dapat mendorong peningkatan kualitas pendidikan, karena dengan menurunnya angka kehamilan di kalangan pelajar, mereka dapat lebih fokus pada studi mereka.


Namun, kebijakan ini tidak luput dari kritik. Beberapa pihak, termasuk tokoh masyarakat, orang tua, dan organisasi keagamaan, menganggap bahwa kebijakan ini bisa memberikan sinyal yang salah kepada remaja. Mereka khawatir bahwa pembagian alat kontrasepsi kepada pelajar justru akan mendorong perilaku seksual di usia dini.


Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai bahwa aturan mengenai pembagian alat kontrasepsi untuk pelajar kurang partisipasif dan melibatkan pandangan masyarakat. 


“Daripada bertentangan dengan norma sosial di sekolah dan merusak moralitas anak-anak, lebih baik aturan ini dicabut dan didiskusikan kembali dengan melibatkan partisipasi yang lebih luas. Di tengah situasi yang semacam ini, mestinya pemerintah perlu memperkuat pendidikan seksual dan juga pengembangan penyuluhan kesehatan reproduksi pada anak di sekolah, daripada penyediaan alat kontrasepsi,” tutur Ubaid Matraji dikutip dari NU Online pada Selasa (6/7/2024). 


Selain itu, ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini hanya akan menutupi masalah yang lebih mendasar, yaitu kurangnya edukasi dan bimbingan yang tepat mengenai kesehatan reproduksi di kalangan remaja. 

Menurut beberapa ahli, pemberian alat kontrasepsi saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan pendidikan yang komprehensif mengenai risiko dan tanggung jawab yang melekat pada aktivitas seksual. 


Budi Wahyuni, seorang Dewan Pakar dari Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2) sekaligus ahli seksologi mengatakan, “Jadi kita bilangnya komprehensif seksual edukasi. Semuanya lengkap harus diberikan. Jadi sudah dibekali seperti itu maka ada pendidikan yang mengatakan kalau kamu ada dorongan seksual apa yang harus kamu lakukan? Nah ini hak yang tidak boleh dilupakan atau muncul masalah seperti HIV atau infeksi penyakit menular,” Ujarnya dikutip dari Tirto, 6 Agustus 2024. 


Dampak lain yang dikhawatirkan adalah potensi meningkatnya perilaku seksual bebas di kalangan remaja. Studi menunjukkan bahwa remaja yang memiliki akses mudah terhadap alat kontrasepsi cenderung merasa lebih aman untuk melakukan hubungan seksual tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Hal ini bisa berujung pada meningkatnya angka penyakit menular seksual (PMS) di kalangan remaja, jika tidak diimbangi dengan edukasi yang memadai.


Kebijakan pembagian alat kontrasepsi kepada pelajar ini memang memunculkan pro dan kontra yang cukup tajam di tengah masyarakat. Di satu sisi, kebijakan ini dilihat sebagai solusi praktis untuk mengatasi masalah kehamilan remaja. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa langkah ini bisa menimbulkan masalah baru yang lebih besar jika tidak dilaksanakan dengan hati-hati.


Penting untuk diingat bahwa setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada keseimbangan antara manfaat dan risiko yang mungkin timbul. Edukasi yang menyeluruh mengenai kesehatan reproduksi harus tetap menjadi prioritas, agar para remaja tidak hanya memiliki pengetahuan tetapi juga kesadaran akan tanggung jawab yang menyertai setiap pilihan yang mereka buat. Hanya dengan demikian, kebijakan ini dapat benar-benar memberikan manfaat jangka panjang bagi generasi muda Indonesia.


Comments


bottom of page